Rabu, 23 Desember 2009





Potret Mahasiswa Aceh

Perkembangan mahasiswa Aceh tidak terlepas dari sejarah yang dilalui masyarakat Aceh. Dua kampus pertama yaitu Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan IAIN Ar-Raniry disebut-sebut sebagai " jantong hatee rakyat Aceh". Seiring dengan mulianya nama kampus tersebut, indentitas mahasiswa ditempatkan pada posisi yang "mulia" pula dalam kultur masyarakat Aceh.

Seiring konflik politik yang mendera Aceh selama 30 tahun, mahasiswa turut serta dalam membantu dan memberikan arah bagi gerakan masyarakat sipil. Ini terlihat dengan menjamurnya kelompok-kelompok mahasiswa ekstra kampus periode 1998, seperti KARMA, SMUR, FARMIDIA, SIRA, komite aksi mahasiswa daerah seperti WAKAMPAS di Aceh Selatan, GAMAUR di Aceh Utara, KAGEMPAR di Aceh Barat dan yang lainnya. Terlepas partisipasi tersebut secara politik "sejalan atau berlawanan" terhadap kepentingan pemerintah atau kepentingan politik lainnya.

Sejarah kebersamaan mahasiswa Aceh telah terbukti dalam gerakan mengusung reformasi 1998 (penurunan rezim Soeharto), tuntutan Pencabutan DOM (Daerah Operasi Militer), aksi massa menuntut referendum (aksi masa terbesar sepanjang sejarah Aceh), membantu pengungsi (IDPs akibat konflik yang tersebar di selurah Aceh), membantu perawatan korban-korban penembakan (Tragedi Simpang KKA, Tragedi 11 September Mapolres Tapak Tuan), advokasi tanah dan lingkungan hidup (Kasus HPH dan HGU di Aceh Selatan), serta aktif dalam kegatan-kegaiatan bakti sosial melalui wadah; komite aksi, ormas, BEM, UKM, Mapala, Paguyuban dan kelompok himpunan lainnya. Seruan-seruan mahasiswa mampu mengintervensi keadaan sosial-politik dan diikuti massa dari berbagai daerah kabupaten-kota. Diantaranya seruan pemogokan massal menuntut pencabutan DOM, dan mobilisasi doa bersama bagi perdamaian Aceh.

Gerakan mahasiswa di Aceh memiliki keunikan tersendiri, yang dapat dilihat dari isu-isu yang diangkat. Layaknya isu-isu politik "tingkat tinggi", mahasiswa Aceh, misalnya, menuntut Pencabutan DOM, Pembentukan KPP HAM, Pengadilan HAM, Referendum atau Revolusi. Kehadiran organisasi-organisasi mahasiswa lebih kental terseret oleh isu-isu politik serta permasalahan masyarakat. Sayang, pada tahap selanjutnya gagal mendapat tempat dan perhatian dalam dinamika kampus.

Mimbar bebas mahasiswa di kampus-kampus (pada periode 1998-2002) dihidupkan sebagai media komunikasi antar mahasiswa, dengan isu-isu politik eksternal. Dampak positifnya ialah semakin banyak mahasiswa yang memiliki keberanian berbicara didepan umum. Mampu memberikan solusi bagi isu-isu aktual, sekaligus mendekatkan wacana ilmiah dengan persoalan masyarakat. Namun kelemahan mendasar wadah ini adalah belum dikelola secara sistematis, sehingga persoalan sehari-hari mahasiswa justru tidak terangkat. Ditambah lagi dengan adanya larangan-larangan politis dari pihak pemerintah melalui birokrasi Kampus, aparat keamanan (TNI/Polri), sehingga dalam perjalanannya mimbar bebas kembali membisu.

Konflik politik bersenjata yang semakin tajam, benar-benar menutup ruang demokrasi dan partisipasi komponen masyarakat sipil Aceh. Darurat militer maupun darurat sipil tahun 2002-2004 membuat gerakan mahasiswa Aceh juga mengalami tekanan. Sebagian aktivis mahasiswa menerima shock therapy "militerisme" (misalnya; pemukulan, intimidasi, penangkapan, penculikan paksa dan target pencarian orang-TPO) yang telah memukul mudur gerak mahasiswa di Aceh.

Adapun "PR" yang belum dikerjakan hingga saat ini adalah merubah orientasi mahasiswa akan pentingnya organisasi di kampus. Setidaknya pengalaman beberapa tahun dalam kegiatan ekstra kampus, belum berhasil mengubah pola pengkaderan di kampus-kampus mereka. Pada level organisasi-organisasi terlihat kesulitan memberi penjelasan tentang program yang ingin disampaikan kepada mahasiswa baru. Apakah masih tetap dengan isu-isu eksternal atau mau masuk kedalam problematika mahasiswa sehari-hari? Atau keduanya?.